Laut China Selatan telah lama menjadi pusat perhatian geopolitik internasional, terutama slot karena klaim tumpang tindih atas wilayah laut yang kaya akan sumber daya alam dan jalur perdagangan strategis. Ketegangan antara China dan negara-negara ASEAN, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Meski berbagai upaya diplomatik telah dilakukan untuk meredam konflik, situasi di kawasan ini tetap panas dan berpotensi memicu konflik yang lebih besar.
Latar Belakang Sengketa
Laut China Selatan adalah wilayah laut seluas sekitar 3,5 juta kilometer persegi yang diperebutkan oleh beberapa negara. China mengklaim hampir seluruh wilayah tersebut melalui apa yang dikenal sebagai “Nine-Dash Line”, sebuah garis imajiner yang pertama kali muncul di peta China pada tahun 1947. Klaim ini mencakup wilayah yang juga diklaim oleh Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei.
Pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim historis China tidak memiliki dasar hukum menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Namun, China menolak putusan tersebut dan tetap melanjutkan aktivitas militernya di wilayah yang disengketakan.
Aktivitas China yang Memicu Ketegangan
China telah membangun pulau buatan dan fasilitas militer di berbagai lokasi strategis, seperti Kepulauan Spratly dan Paracel. Aktivitas ini tidak hanya menunjukkan klaim teritorial China, tetapi juga memperkuat kehadiran militernya di wilayah tersebut.
Selain itu, kapal-kapal penjaga pantai dan milisi maritim China sering terlihat menghalangi atau mengintimidasi kapal nelayan dan kapal patroli dari negara-negara ASEAN. Filipina dan Vietnam adalah dua negara yang paling sering mengalami insiden semacam ini. Insiden ini memicu protes keras dari pemerintah Filipina dan dukungan internasional terhadap hak kedaulatan negara tersebut.
Respons ASEAN: Solidaritas yang Terpecah
Negara-negara ASEAN telah berusaha untuk merespons ketegangan ini dengan berbagai pendekatan, namun solidaritas antaranggota sering kali terpecah. Filipina dan Vietnam cenderung mengambil sikap tegas terhadap China, sementara negara seperti Kamboja dan Laos terlihat lebih berhati-hati karena memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Beijing.
Kesulitan ASEAN dalam membentuk posisi bersama yang kuat telah menghambat tercapainya kode etik yang mengikat secara hukum (Code of Conduct/CoC) antara ASEAN dan China. Meski negosiasi CoC telah berlangsung selama bertahun-tahun, hingga kini belum ada hasil konkret yang bisa mengurangi risiko konflik di wilayah tersebut.
Peran Kekuatan Global
Ketegangan di Laut China Selatan juga menarik perhatian kekuatan global seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Hal ini tentu memicu ketegangan tambahan dengan Beijing, yang menuduh Washington memprovokasi konflik di kawasan Asia-Pasifik.
Sementara itu, Jepang dan Australia meningkatkan kerja sama pertahanan dengan negara-negara ASEAN, serta mendukung posisi hukum internasional berdasarkan UNCLOS. Bantuan dalam bentuk latihan militer bersama, patroli laut, dan pendanaan infrastruktur keamanan maritim menjadi bentuk dukungan yang terus berkembang.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Ketegangan ini tidak hanya berdampak pada keamanan, tetapi juga ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sumber daya ikan yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal juga semakin terancam oleh penangkapan ikan ilegal dan kerusakan ekosistem akibat pembangunan pulau buatan.
Selain itu, ketegangan ini menimbulkan ketidakpastian bagi investor asing. Proyek-proyek energi laut dalam seperti pengeboran minyak dan gas lepas pantai menjadi lebih berisiko, sehingga menghambat potensi ekonomi negara-negara di kawasan tersebut.
Menuju Solusi Damai?
Meski situasi terus memanas, harapan masih ada untuk solusi damai. Jalur diplomatik tetap menjadi kunci. Negara-negara ASEAN perlu memperkuat posisi bersama dan mendorong penyelesaian berdasarkan hukum internasional.
Penting pula bagi komunitas internasional untuk terus memberikan tekanan dan dukungan terhadap proses damai di kawasan ini. Transparansi, dialog terbuka, dan penghormatan terhadap hukum internasional menjadi landasan utama menuju stabilitas jangka panjang di Laut China Selatan.